Lagi, Rumah Sakit Melarang Jilbab!
Belum tuntas penyelesaian kasus pelarangan jilbab di RS Karya Medika II Tambun Bekasi, kini larangan penggunaan jilbab kembali terjadi di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat.
Saat teriknya sinar matahari pada pertengahan Oktober, Sabili meluncur ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Barat (RSMKBB) yang berlokasi di jalan Ahmad Yani Bekasi untuk memantau dan mengamati benarkah ada pelarangan jilbab. Selama hampir satu jam jarum jam berputar Sabili tidak menemukan seorang pun karyawati yang memakai jilbab. Saat itu bagian informasi terlihat memakai seragam resmi dengan pakaian berwarna merah, sedangkan penjaganya (security) berpakaian serba hitam dengan tanda nama diatas sakunya. Tak puas dengan pengamatan ini Sabili pun mencoba mengelilingi bagian lain yakni ruangan Unit Gawat Darurat (UGD), Mushola mini dan daerah sekitarnya, namun tak jua ditemukan karyawati yang memakai jilbab.
Hal itu terkait laporan dari Wine Dwi Mandela karyawan tetap RSMKBB yang merasa diperlakukan tidak adil dan semena-mena oleh pihak RS Mitra. Kejadian itu bermula saat wanita yang telah mengabdi selama empat tahun tersebut usai cuti umrah ke tanah suci selama beberapa waktu. Tak disangka perjalanan religius itu mendatangkan hidayah dalam hatinya sehingga memantapkan hatinya untuk istiqomah mengenakan jilbab di manapun berada.
Sebelumnya sudah tiga tahun Wine mengenakan jilbab, namun ia hanya memakainya saat berangkat dan pulang bekerja, sebab ketika bekerja dilarang. Padahal tidak ada satupun peraturan tertulis perusahaan yang mengatur pelarangan jilbab. Yang diatur hanyalah seragam resmi yang berlaku di RS Mitra.
Pagi itu (21/4) saat hari pertama masuk, Wine berkomitmen untuk mengenakan jilbab saat bekerja, namun yang terjadi malah kontradiktif RS Mitra melarangnya. Mereka beralasan RS Mitra bukanlah RS Islam tapi RS Umum, sehingga tidak boleh menggunakan simbol-simbol agama. Padahal, kata Wine orang beragama Kristen saja boleh memakai kalung salib yang merupakan simbol agama mengapa tidak dilarang?
Muslimah yang pernah bekerja di bagian Fisio Terapi tersebut menjelaskan beberapa saat setelah bekerja pada hari pertama, dirinya dipanggil oleh bagian HRD RS Mitra. Namun panggilan tersebut tidak dipenuhinya, karena Wine merasa panggilannya itu terkait jilbabnya yang tidak sesuai dengan aturan RS Mitra. Karena sudah berkali-kali dipanggil akhirnya Wine menghadap Koordiantor Rehab Medik ibu Suparmi dan Manager HRD Drg Elisabeth Setyodewi. Namun sungguh ironis dari pertemuan itu Drg Elisabeth malah mengancam akan mengeluarkan Wine dari RS jika masih tetap menggunakan Jilbab. Pihak RS Mitra hanya membolehkan karyawatinya memakai jilbab saat berangkat dan pulang kantor saja, saat bekerja harus dilepas.
Salah satu teman korban yang masih aktif bekerja di RS Mitra sebut saja Rita (bukan nama sebenarnya) membenarkan adanya pelarangan memakai jilbab saat bekerja, namun ia enggan berkomentar banyak mengenai hal itu khawatir akan mengalami nasib serupa seperti Wine.
Tak berhenti disitu salah satu staff HRD, Tina memaksanya membuat surat pengunduran diri dengan dalih Wine telah melanggar Peraturan Perusahaan Pasal 17 ayat 4.2 yaitu tidak memakai pakaian seragam kerja yang telah ditetapkan perusahaan berikut perlengkapannya sesuai dengan perlengkapan di unit kerja masing-masing.
Karena merasa tak berdaya Wine akhirnya menuruti kemauan pihak RS dan bersedia dikeluarkan dari pekerjaan namun dengan catatan, alasan dia dikeluarkan karena tidak boleh menggunakan jilbab saat bekerja. Namun alasan pengunduran diri itu malah ditolak mentah-mentah oleh pihak Rumah Sakit. Lalu Tina meminta paksa Kartu Pegawai dan Kartu HMO (kartu berobat) dan kunci loker yang telah dimilikinya selama bertahun-tahun. Setelah jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB Wine pun pulang dengan perasaan kecewa.
Sikap sewenang-wenang pihak RS Mitra tidak berhenti sampai disitu, tanggal 25 April 2008 Wine yang resmi tercatat menjadi karyawan tetap berdasarkan Surat Keputusan Direksi No. SK-TETAP/PERS/04118 tanggal 06 September 2004, diminta memberikan surat pengunduran diri. Namun Wine mau memenuhi asalkan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan tidak boleh menggunakan jilbab saat bekerja, namun pihak RS Mitra tetap menolaknya.
Selanjutnya pukul 08.10 Wine kembali bertemu dengan Manager HRD yang intinya memaksa dirinya untuk membuat surat pengunduran diri dengan dalih telah melanggar Peraturan Perusahaan yang diatur di dalam pasal 17 ayat 4.2 tersebut.
Menanggapi hal ini, Wine merasa dirinya telah diperlakukan tidak adil dan diskriminatif oleh pihak RS Mitra, sebab peraturan ini hanya berlaku bagi karyawan sedangkan dokter tidak dilarang. Bahkan yang lebih kejam lagi pihak RS Mitra mengancam akan mem-black list (mendaftar hitamkan namanya) agar tidak dapat bekerja di seluruh Rumah Sakit yang ada di Jakarta.
Ujian kembali menerpa wanita asli Tasikmalaya itu pada hari yang sama (25/4), lima orang utusan dari RS Mitra Keluarga Bekasi diantaranya bagian house keeping Ibu Yus, Bagian Koordinator Rehab Medik Ibu Suparmi dan Bagian Staff HRD Ibu Yul menyambangi rumah Wine di Jakarta Selatan. Mereka memaksa Wine menandatangani dan menyerahkan surat pengunduran diri dengan dalih agar urusannya cepat selesai, namun Wine tetap menolaknya.
Selanjutnya tanggal 5 dan 6 Mei 2008 pihak RS Mitra mulai mengambil sikap lunak dengan memberikan surat panggilan I dan II yang isinya meminta Wine agar bekerja kembali tapi mengenakan seragam resmi RS dan tidak mengenakan jilbab. Namun Wine tak menghiraukan panggilan tersebut dan menganggapnya masih ada perlakuan diskriminatif terhadap karyawati yang berjilbab. Surat panggilan III pun kembali datang tanggal 7 Mei yang isinya menyatakan bahwa Wine telah diPHK dan akan dipanggil untuk menyelesaikan urusan administrasi. Namun Wine tak jua memenuhi panggilan tersebut.
Alhasil, akibat dari perbuatan sewenang-wenang itu, pihak RS tidak membayarkan gaji Wine sejak bulan April hingga Agustus 2008. Selain itu ia juga merasa dirugikan secara materiil dan immaterial yaitu tidak dipenuhinya tuntutan pesangon PHK sesuai dengan Ketentuan UU Tenaga Kerja Republik Indonesia No 13 tahun 2003 yaitu 2 kali ketentuan pasal 156 dan pengembalian nama baik seperti sedia kala.
Upaya penyelesaian
Untuk menuntaskan kasus ini Wine kemudian melaporkannya ke Tim Pembela Muslim (TPM) kota Bekasi dan membeberkan Kronologis Permasalahan dan Progres Report dari Pemberi Kuasa yang dibuat dan ditanda tangani oleh tim TPM Budi Santoso, SH tertanggal 18 September 2008 dan disampaikan tanggal 8 Oktober 2008. Lalu Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) kota Bekasi memanggil pihak RS Mitra Keluarga tepatnya tanggal 18 September 2008, namun tak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan Wine.
Selanjutnya kasus ini mendapat perhatian serius dari TPM Bekasi, setelah mengetahui duduk perkaranya TPM lalu menunjuk Kuasa Hukum Wine yaitu Farhan Hazairin SH, Thoriq SH, Musman SH, Budi Santoso SH dan Hijrah Saputra SH kemudian melayangkan klarifikasi kepada pihak RS. Dalam tuntutannya yang diajukan, pihak Wine menuntut adanya tuntutan materi dan immateri. Tuntuan immateri disebabkan oleh pencemaran nama baik, pembunuhan karakter dan penetapannya sebagai black list. Sedangkan tuntutan materi berupa uang pesangon dan pembebasannya dari hutang.
Namun pihak RS Mitra bergeming, bukannya meminta maaf malah menyiapkan Pembela dan Kuasa Hukum. Pihak RS Mitra beralasan tidak akan memberikan pesangon sebab itu dilakukan atas alasan pengunduran diri Wine sendiri, RS hanya mau membebaskan hutangnya yang jumlahnya sedikit.
Pertemuan demi pertemuan telah berlangsung, sejak tanggal 15 Juli 2008 hingga Senin (27/10). Saat pertemuan pertama TPM Bekasi mengundang pihak RSMKBB untuk mengadakan perundingan Bipartit (penyelesaian masalah perburuhan melalui kesepakatan dua pihak antara pengusaha dan buruh), namun pihak RS tidak datang dan hanya memberikan surat pemberitahuan bahwa mereka telah memberi kuasa kepada Kantor Hukum M. Lutfie Hakim dan Partners guna mewakili mereka dalam sengketa dengan Wine. Hingga berita ini diturunkan belum ada kepastian dari pihak RS Mitra apakah akan membolehkan semua pegawainya memakai jilbab saat bekerja.
Kuasa Hukum Wine, Musman menjelaskan pihaknya mendesak dan meminta kepada RS Mitra agar bisa memperkerjakan kembali Wine sebagaimana mestinya, dan membolehkannya memakai jilbab saat bekerja. Sebab tidak ada satupun Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melarang memakai jilbab.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Fraksi Komisi D DPRD kota Bekasi Heri Koswara mengatakan kasus ini seharusnya dijadikan sebuah pelajaran bagi perusahaan dan istitusi manapun. Heri merasa heran mengapa di Kota Bekasi masih ada saja institusi atau lembaga yang melarang seseorang untuk mengimplementasikan pemahaman agamanya dalam hal berpakaian jilbab.
Menurut Heri saat pertemuan di DPRD Bekasi (27/10) antara pihak RS Mitra dengan pihak Wine. Pihak RS tetap bersikukuh dan beralasan peraturan melarang jilbab dikarenakan adanya aturan internal perusahaan yang mengatur seragam resmi di RS Mitra Bekasi, mesti secara tersirat. Padahal, kata Heri jika kita cermati lebih dalam peraturan RS Mitra tersebut terdapat peraturan yang secara implisit melarang karyawan memakai jilbab. Dan ternyata hal itu sudah berlangsung cukup lama dan baru terungkap sekarang.
“Dari sisi Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak satupun peraturan yang melarang mengenakan jilbab saat bekerja, buktinya masih banyak perusahaan yang tidak melarang memakai jilbab bagi karyawan dan hal ini ternyata tidak mengurangi etos kerjanya, ”ungkap Heri dengan nada tegas kepada Sabili via telepon (29/10).
Hal senada juga diungkapkan Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Bekasi (Disnaker) Agus Darma Suwandi. Ia menyatakan pihaknya sudah menegaskan kepada pihak RS Mitra bahwa memakai jilbab bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan dalam dunia kerja dan tidak melanggar peraturan Undang-Undang Tenaga Kerja. Menanggapi hal ini pihak RS Mitra akhirnya meminta waktu selama satu minggu untuk membawa permasalahan ini ke Pimpinan Perusahaan.
Selain DPRD Bekasi akan mengusahakan Wine agar bisa kembali bekerja di RS dan diperbolehkan memakai jilbab. Apabila pihak RS Mitra masih membandel juga kita akan meneruskan kasus ini ke tingkat berikutnya yaitu Pengadilan Hukum Industrial (PHI), di sinilah akan ada sanksi dan penegakkan hukum.
Selanjutnya Heri menegaskan bahwa DPRD Bekasi bersama TPM akan menunggu hasil keputusan dari pihak RS Mitra apakah akan mencabut aturan itu atau tidak, bila masih membandel juga kita akan melakukan langkah-langkah yang tegas. Yaitu kita akan meminta Dinas Ketenaga Kerjaan (Disnaker) Bekasi untuk merevisi kembali peraturan seragam yang berlaku di RS Mitra Keluarga Bekasi. Selanjutnya kita akan menginformasikan kasus ini kepada masyarakat luas bahwa kebanyakan pasien di RS Mitra adalah orang Islam, di mana seharusnya mereka menjunjung tinggi suara mayoritas yang membolehkan memakai jilbab.
Semoga pemerintah bisa bertindak tegas terhadap rumah sakit manapun yang melarang karyawatinya memakai jilbab, sebab ini telah melanggar UU 1945 Pasal 29 ayat 2 yang isinya menjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk menjalankan agamanya masing-masing. Bagi pemilik RS dan perusahaan di manapun berada, sadarlah bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Mengapa berjilbab justru dilarang? (EM)
Sumber : http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=170&Itemid=30
0 komentar(s):
Post a Comment